Minggu, 21 Desember 2014

FILSAFAT SEJARAH SPEKULATIH IBN KHALDHUN



BAB II PEMBAHASAN

2.1 Biografi Ibn Khaldun
Ibn Khaldun lahir di Tunisia dapa tanggal 27 Mei 1332 ( 1 Ramadan 732) dengan nama lengkap Waliyuddin abdurrahman bi Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Al-Hasan. Keluargannya berasal dari Hadramaut (sekarang wilayah Yaman) dan silsilah nya sampai pada  sahabat Nabi Muhammad SAW. bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. sewaktu kecil, Ibn Khaldun telah menghafal Al-Quran dan mempelajari tajwid yang diajarkan oleh ayahnya sendiri. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, ushul fiqh, tauhid dan fiqh mazhab Maliki. Ia juga memepelajari ilmu-ilmu bahasa (nahwu, sharaf, dan balaghah), fisika dan matematika. ia selalu mendapatkan nilai yang sesuai dari gurunya.Khaldun mulai masuk ke dunia politik dan pemerintahan ketika para pemimpin Tunis hijrah ke Maroko. Pada tahun 1350, ia diangkat menjadi sekretari sultan Dinasti Hafs. saat itu lika-liku kehidupan dan karir politiknya mengalami pasang surut sampai pada tahun 1374 M  (776 H) ia mengundurkan diri dari politik. Ia menyepi dan menetap di daerah Qal’at Ibnu Salamah dan menetap di sana sampai tahun 1378M  (780 H). Di sini ia mengarang kitab monumentalnya berjudul Kitab al-‘ibar wa Diman al-Mubtada’ wa al-Khabar fi’ Ibar (sejarah umum). Kitab setebal 7 jilid ini berisi pembahasan tentang problematik sosial mausia (sosiologi). Kitab Muqaddimah itu pada akhirnya berhasil menjadi pembuka jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu sosial manusia. Oleh karena itu, dalam ilmu sejarah islam, Ibn Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu sosial dan politik.
Pada tahun 780 H (1378 H), Khaldun kembali ke Tunisia untuk menelaah beberapa kitab sebagai bahan untuk merevisi kitab Al-‘Ibar. Pada tahun 784 M (1382 H), ia berangkat ke Iskandariyah (Mesir) untuk menghindari kekacauan politi di negeri Maghrib (Maroko). Setelah sebulan di sana, ia pindah ke Kairo. Di kota ini ia memulai karir di bidang ilmu pengetahuan dengan membuka halaqah di Al-Azhar untuk memberi kuliah. Pada tahun 786 M, raja menunjuknya menjadi dosen ilmu fiqh Maliki di Madrasah Al-Qamhiyah. Pada tahun 801 M (1401 H), ia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan sampai akhir hayatnya. Selama di Mesir, Ibn Khaldun kembali merevisi kitab Al-‘Ibar dan menambah pasal kitab Muqaddimah. Ia memasukan peristiwa terbaru dan temuan-temuan ilmiahnya, seperti konsep-konsep sosiologis. Ia wafat di Kairo 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406). Temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep sosiologinya yang hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh ahli sejarah dan sosiologi dunia.

2.2 Pengertian Sejarah Menurut Ibn Khaldun
Untuk memahami pengertian sejarah, Ibn Khaldun pada ungkapan pertama dan kedua menggunakan istilah fann al-tarikh. Adapun pada ungkapan yang ketiga, istilah tarikh disebutkan secara berdiri sendiri tanpa didahului dengan istilah fann. Dengan demikian, Ibn Khaldun menggunakan istilah fann al-tarikh dan al-tarikh untuk menunjuk pengertian sejarah. Secara bahasa kata fann berarti seni atau teknik, sedangkan secara istilah ia mengandung arti aplikasi praktis tentang teori-teori keilmuan yang diwujudkan melalui berbagai alat atau metode, dan dapat diperoleh melalui studi. Dengan demikian, istilah fann dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mengarah pada penerapan teori-teori keilmuan. Adapun istilah tarikh dalam bahasa Arab mengandung arti rekaman suatu peristiwa tertentu pada masa tertentu yang sepadan dengan kata history. Dengan demikian, fann al-trikh berarti penerapan tentang teori-teori rekaman peristiwa masa lalu melalui metode sejarah (Toto Suharto, 2003: 80).
Fann al-tarikh dalam pandangan Ibn Khaldun mengandung dua pemahaman, yaitu luar dan dalam. Sejarah dalam pandangan Ibn Khaldun bukan sekedar ceritera kronik tentang berbagai peristiwa masa lalu, tetapi sejarah juga berarti menyajikan kritik terhadap data dan berita yang ada, di samping analisis terhadap berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Pandangan inilah yang menyebabkan Ibn Khaldun dianggap sebagai puncak sejarawan naratif interpretatif di kalangan cendekiawan Arab. Oleh karena sejarah mengandung suatu penyelidikan kritis dan mencari kebenaran; suatu pengetahuan mendalam tentang 'bagaimana' dan 'mengapa' suatu peristiwa terjadi, maka sejarah menurut Ibn Khaldun dipandang sebagai bagian dari hikmah atau filsafat. Pertama, sikap memihak terhadap suatu kepercayaan atau pendapat (tidak netral). Kedua, kepercayaan yang berlebihan kepada para penutur, padahal penuturan apapun harus diterima setelah dilakukan ta’dil dan tajrih(personality criticism). Ketiga, ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Keempat, pepercayaan yang salah terhadap “kebenaran”.
Dengan kata lain, seorang sejarawan menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa berita itu telah merupakan kebenaran. Kelima, ketidaksanggupan menempatkan denagn tepat suatu kejadian dalam hubungan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya karena kabur dan rumitnya keadaan. Kelima, keinginan yang umum untuk mengambil hati orang-orang yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyuran, membujuk-bujuk, mneganggap baik perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka. Keenam, idak mengetahui hokum watak dan perubahan masyarakat. Ketujuh, ketidaktahuan tentang metode-metode kebudayaan. Dengan menggunakan “tujuh kritik” ini ia mengkritik para sarjana sejarah seperti Al-Mas’udi yang telah lengah memercayai berita yang tidak masuk akal.

2.3 Pandangan dan Pemikiran Filsafat Sejarah Spekulatif Pada Abad Pertengahan Menurut Ibn Khaldun
Filsafat sejarah dalam pengertian yang paling sederhana adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa sejarah secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi. Dalam kasus yang demikian, filsafat sejarah merupakan wawasan atau penilaian seorang sejarawan atau filosof terhadap sejarah. Menurut F. Laurent, bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan seperangkat rangkaian peristiwa yang terjadi tanpa tujuan atau makna. Laurent dalam hal ini memilih Allah sebagai pengendali jalannya sejarah (Zainab al-Khudhairi, 1987:54).
Menurut Ibn Khaldun, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Ibn Khaldun berpendapat bahwa 'ashabiyah' merupakan asas berdirinya suatu negara dan faktor ekonomi adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Apabila ditinjau dari aspek ini, Ibn Khaldun dapat dipandang sebagai salah seorang penyeru materialisme sejarah (Zainab al-Khudhairi, 1987:62).
Berkenaan dengan pendapatnya di atas, Ibn Khaldun bersesuaian dengan aliran sejarah sosial yang berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah.
Meskipun dari aspek ini Ibn Khaldun dapat dipandang sebagai seorang tokoh dari sealiran dengan faham materialis, namun ia tidak meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari aspek ekonomi saja. Ibn Khaldun pun meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan lebih menekankan faktor-faktor lain ini. Ibn Khaldun pun sefaham dengan aliran geografis yang memandang manusia sebagai putera alam lingkungan dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan alamlah yang membentuk masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan. Namun pandangan ini kini tidak lagi diterima, sebab kini terbukti bahwa selain dipengaruhi oleh lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi antara keduanya terjadi interaksi. Dari sini dapat dinyatakan bahwa Ibn Khaldun pun berafiliasi dengan aliran terakhir ini, karena ia menyatakan tentang adanya dampak alam kehidupan masyarakat, meski ia tidak menyatakan bahwa dampak alam tersebut merupakan faktor satu-satunya.
Menurut Ibn Khaldun setiap fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan, bahkan perkembangan dalam fenomena-fenomena sosial lebih gambling tinimbang dalam fenomena-fenomena alam, serta segala sesuatu dalam masyarakat manusia selalu berubah (Zainab al-Khudhairi, 1987:79). Gerak, menurut Ibn Khaldun terkandung dalam watak segala sesuatu. Ibn Khaldun misalnya menyerupakan umur negara dengan kehidupan manusia. Di sini Ibn Khaldun bermaksud untuk menyatakan bahwa negara terus berkembang, sebab kehidupan itu sendiri berada dalam gerak dan perkembangan yang berkesinambunagn. Pengingkaran terhadap perkembangan berarti pengingkaran terhadap kehidupan. Perkembangan menurut Ibn Khaldun mempunyai corak dialektis, yakni bahwa sejak penciptaannya, dalam diri makhluk hidup telah terkandung benih-benih kematian dn perkembangan yang tidak dapat dihentikan, dan akan menuju pada kematian yang pasti (Zainab al-Khudhairi, 1987:79).
Perkembangan menurut Ibn Khaldun tidaklah berupa lingkaran dan garis lurus, melainkan berbentuk spiral. Sebagai contoh misalnya, adalah perkembangan negara. Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak kejayaan dan kebudayaannya, akan memasuki masa senja dan mulai mengalami keruntuhan untuk digantikan negara baru. Negara baru ini tidak bermula dari nol, tetapi mengambil peninggalan negara yang lama, melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda dari kebudayaan negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak tampak sehingga sulit diamati. Namun dengan berulangkalinya daur ini berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak makin jelas.
Sebagian para penulis berpendapat bahwa daur perkembangan versi Ibn Khaldun ini akanmengakibatkan tiadanya kemajuan. Karena hal ini berarti bahwa pada waktu suatu masyarakat berbudaya mengalami kehancuran, maka daur perkembangan bermula lagi dari masyarakat primitif, yakni kembali ke belakang yang lebih sederhana. Dalam menjawab pendapat di atas, M.A. Lahbabi menyatakan bahwa dalam kenyataannya, masyarakat maju yang lenyap, lebih maju dari segi materi saja dibanding masyarakat primitif. Oleh karena itu kehidupan primitif bukanlah merupakan kehancuran atau kehilangan pencapaian-pencapaian kultural, melainkan merupakan pemurnian tradisi dan adat kebiasaan, dan ia merupakan gerak kembali pada keperwiraan, kedermawanan, dan keberanian. Sesuai dengan interpretasi yang demikian ini, maka kebudayaan perkotaan dengan segala kemewahan dan mewarnainya adalah pertanda keruntuhan masyarakat dari segi nilai-nilai (Zainab al-Khudhairi, 1987:83).
Mengenai faktor-faktor apa saja yang mengendalikan perkembangan, Ibn Khaldun menempatkan agama sebagai salah satunya. Sejalan dengan pendapat ini, Vico, mengatakan bahwa agama adalah juga sebab perkembangan pada masa di mana agama memainkan peran yang dominan dalam kehidupan. Sedang Thomas Henry Buckle berpendapat bahwa pada abad ke-19, ilmu pengetahuan-lah yang dijadikan sebagai asas perkembangan sejarah. Selanjutnya terdapat pula para ahli yang mencoba mengkaji sejarah kenyataan-kenyataan ekonomi dan memandang kehidupan ekonomi sebagai faktor yang mengendalikan perkembangan sejarah.
Pertama, ekonomi. Ibn Khaldun berpendapat bahwa antara fenomena-fenomena sosial dengan fenomena lainnya saling berkaitan. Fenomena-fenomena ekonomi, menainkan peranan yang penting dalam perkembangan kebudayaan, dan mempunyai dampak yang besar atas eksistensi negara dan perkembangannya. Baginya faktor ekonomi sebagai faktor terpenting yang menggerakkan sejarah. Aspek ekonomilah yang menentukan watak kehidupan sosial. Meskipun demikian, Ibn Khaldun tidak dapat dipandang sebagai seorang pemikir materialis murni, karena ia kadang-kadang menempatkan faktor-faktor mental lebih dominan dalam mempengaruhi perkembangan manusia (Zainab al-Khudhairi, 1987:119).
Kedua, alam. Ibn Khaldun juga menyatakan adanya dampak alam atas individu-individu dan masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini berarti bahwa alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa yang dilakukannya. Selain itu, alam juga mempengaruhi sifat-sifat fisik dan psikisnya, dan bahkan juga mempengaruhi kehidupan kulturalnya. Atas dasar itu, Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa kebudayaan tidak mungkin ada kecuali di kawasan-kawasan tertentu, tidak yang lainnya (Zainab al-Khudhairi, 1987:89).
Ketiga, agama. Ibn Khaldun, demikian dikatakan Gaston Bouthoul, dalam kedudukannya sebagai seorang Muslim, berpendapat tentang adanya pengarahan Ilahi yang mengendalikan hukum-hukum yang mengarahkan berbagai fenomena. Hal ini tidak bertentangan dengan pengakuan tentang adanya berbagai faktor yang mengendalikan perjalanan dan perkembangan kehidupan sosial dan sejarah, misalnya saja faktor ekonomi, alam, dan hukum-hukum determinisme sejarah. Sebab pengarahan Ilahi berada pada segala sesuatu dan mampu menguah perjalanan segala sesuatu (Zainab al-Khudhairi, 1987:97).

2.4Pola/Irama Proses (Gerak) Sejarah
Ibn Khaldun merupakan sosok filosof yang membangun peradaban islam yang tengah redup bersama dengan Renaisans Barat. Melalui karyannya “Al-Muqaddimah” serangkaian dengan kitab Al-‘Ibar dan Al-Ta’arif yang didalamnya mengandung berbagai aspek kehidupan termasuk filsafat sejarah, bagaimana Ibn Khaldun memandang gerak sejarah.
Dari beberapa teori tentang gerak sejarah, para Khaldunian telah berbeda pendapat dalam menganalisa gerak sejarah menurut Ibn Khaldun. Perbedaan ini terjadi karena Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah tidak menyebutkan teorinya secara eksplisit, tapi hanya menyebutkan secara implisit. Secara sederhana, mereka terbagi dalam tiga kelompok pemikiran.
Pertama, kelompok yang menyebutkan bahwa gerak sejarah menurut Ibn Khaldun adalah gerak siklus. Kedua,kelompok yang menyatakan bahwa gerak sejarah menurut Ibn Khaldun adalah berpangkal pada kehendak Tuhan. Sedang yang ketiga, mengungkapkan bahwa gerak sejarah menurut Ibn Khaldun bukanlah siklus atau linier, melainkan spiral.
Tato Suharto mengungkapkan pendapatnya dengan jelas bahwa teori gerak sejarah yang paling mendekati kepada maksud Ibn Khaldun diantara tiga pendapat Khaldunian adalah sejarah menurut Ibn Khaldun mengambil bentuk spiral dengan corak dialektis. Ia akan mengalami proses siklus menuju evolusi dan progress, sehingga membentuk spiral. Akan tetapi, oleh karena kehancuran sebuah dinasti berarti berdirinya dinasti baru, maka sejarah mengambil corak yang dialektis.

2.5 Motor yang Menjadi Penggerak Sejarah Menurut Ibn Khaldun
Mengenai motor penggerak sejarah menurut Ibn Khaldun terdapat tiga motor , yaitu:
Pertama, ekonomi. Ibn Khaldun berpendapat bahwa antara fenomena-fenomena sosial dengan fenomena lainnya saling berkaitan. Fenomena-fenomena ekonomi, menainkan peranan yang penting dalam perkembangan kebudayaan, dan mempunyai dampak yang besar atas eksistensi negara dan perkembangannya. Baginya faktor ekonomi sebagai faktor terpenting yang menggerakkan sejarah. Aspek ekonomilah yang menentukan watak kehidupan sosial. Meskipun demikian, Ibn Khaldun tidak dapat dipandang sebagai seorang pemikir materialis murni, karena ia kadang-kadang menempatkan faktor-faktor mental lebih dominan dalam mempengaruhi perkembangan manusia (Zainab al-Khudhairi, 1987:119).
Kedua, alam. Ibn Khaldun juga menyatakan adanya dampak alam atas individu-individu dan masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini berarti bahwa alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa yang dilakukannya. Selain itu, alam juga mempengaruhi sifat-sifat fisik dan psikisnya, dan bahkan juga mempengaruhi kehidupan kulturalnya. Atas dasar itu, Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa kebudayaan tidak mungkin ada kecuali di kawasan-kawasan tertentu, tidak yang lainnya (Zainab al-Khudhairi, 1987:89).
Ketiga, agama. Ibn Khaldun, demikian dikatakan Gaston Bouthoul, dalam kedudukannya sebagai seorang Muslim, berpendapat tentang adanya pengarahan Ilahi yang mengendalikan hukum-hukum yang mengarahkan berbagai fenomena. Hal ini tidak bertentangan dengan pengakuan tentang adanya berbagai faktor yang mengendalikan perjalanan dan perkembangan kehidupan sosial dan sejarah, misalnya saja faktor ekonomi, alam, dan hukum-hukum determinisme sejarah. Sebab pengarahan Ilahi berada pada segala sesuatu dan mampu menguah perjalanan segala sesuatu (Zainab al-Khudhairi, 1987:97).
Dari ketiga faktor penggerak tersebut bersifat komplementer, meskipun sebagai seorang muslim Khaldun tetap mengakui secara implisit peranan “lebih” dari faktor agama (Tuhan).


2.6 Arah dan Tujuan dari Proses Gerak Gejarah Menurut Ibn Khaldun
Teori Ibn Khaldun berdasarkan pada kehendak Tuhan sebagai pangkal penggerak sejarah. Seperti halnya Santo Agustinus, tetapi Ibn Khaldun tidak memusatkan pada akhirat. Tujuan sejarah adala agar manusia sadar akan perubahan-perubahan masyarakat sebagai usaha menyempurnakan kehidupan. Ibn Khaldun menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat karena kadarTuhan, yang terdapat dalam masyarakat yaitu naluri untuk berubah (berkembang) untuk menuju kesempurnaan hidup.







BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Ibn Khaldun adalah cendekiawan islam yang lahir di Tunisia dapa tanggal 27 Mei 1332 ( 1 Ramadan 732) dengan nama lengkap Waliyuddin abdurrahman bi Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Al-Hasan;
3.1.2 Pengertian sejarah, Ibn Khaldun pada ungkapan pertama dan kedua menggunakan istilah fann al-tarikh. Adapun pada ungkapan yang ketiga, istilah tarikh disebutkan secara berdiri sendiri tanpa didahului dengan istilah fann;
3.1.3        Dalam filsafat sejarah bahwasanya:
a. semua fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan;
b.   perubahan merupakan hal yang inheren dan niscaya terjadi dalam kehidupan masyarakat;
3.1.4        Hukum perkembangan secara implisit berbentuk “spiral”.(contoh “perkembangan negara”;
3.1.5        Motor proses (gerak) sejarah:
Motor penggerak bersifat komplementer antara faktor Agama (Tuhan), Ekonomi (bentuk-bentuk produksi), dan Lingkungan Alam (kondisi geografis);
3.1.6        Tujuan perkembangan adalah “kesempurnaan hidup” (kebahagiaan dunia dan akhirat).





DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, Moeslih dan Dedi Supriyadi. 2012. Filsafat Sejarah. Bandung: CV.Pustaka Setia.
Tamburak, Rustam B. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah dan Filsafat Sejarah. Bandung: Rosda Kaya.

http://ibnul-whatever.blogspot.com/2012/02/pandangan-pada-abad-pertengahan-ibnu.html


0 komentar:

Posting Komentar