BAB
II PEMBAHASAN
Ibn
Khaldun lahir di Tunisia dapa tanggal 27 Mei 1332 ( 1 Ramadan 732) dengan nama
lengkap Waliyuddin abdurrahman bi Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad
bin Al-Hasan. Keluargannya berasal dari Hadramaut (sekarang wilayah Yaman) dan
silsilah nya sampai pada sahabat Nabi
Muhammad SAW. bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. sewaktu kecil, Ibn
Khaldun telah menghafal Al-Quran dan mempelajari tajwid yang diajarkan oleh
ayahnya sendiri. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, ushul
fiqh, tauhid dan fiqh mazhab Maliki. Ia juga memepelajari ilmu-ilmu bahasa
(nahwu, sharaf, dan balaghah), fisika dan matematika. ia selalu mendapatkan
nilai yang sesuai dari gurunya.Khaldun mulai masuk ke dunia politik dan
pemerintahan ketika para pemimpin Tunis hijrah ke Maroko. Pada tahun 1350, ia
diangkat menjadi sekretari sultan Dinasti Hafs. saat itu lika-liku kehidupan
dan karir politiknya mengalami pasang surut sampai pada tahun 1374 M (776 H) ia mengundurkan diri dari politik. Ia
menyepi dan menetap di daerah Qal’at Ibnu Salamah dan menetap di sana sampai
tahun 1378M (780 H). Di sini ia
mengarang kitab monumentalnya berjudul Kitab al-‘ibar wa Diman al-Mubtada’ wa
al-Khabar fi’ Ibar (sejarah umum). Kitab setebal 7 jilid ini berisi pembahasan
tentang problematik sosial mausia (sosiologi). Kitab Muqaddimah itu pada
akhirnya berhasil menjadi pembuka jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu sosial
manusia. Oleh karena itu, dalam ilmu sejarah islam, Ibn Khaldun dipandang
sebagai peletak dasar ilmu sosial dan politik.
Pada
tahun 780 H (1378 H), Khaldun kembali ke Tunisia untuk menelaah beberapa kitab
sebagai bahan untuk merevisi kitab Al-‘Ibar. Pada tahun 784 M (1382 H), ia
berangkat ke Iskandariyah (Mesir) untuk menghindari kekacauan politi di negeri
Maghrib (Maroko). Setelah sebulan di sana, ia pindah ke Kairo. Di kota ini ia
memulai karir di bidang ilmu pengetahuan dengan membuka halaqah di Al-Azhar
untuk memberi kuliah. Pada tahun 786 M, raja menunjuknya menjadi dosen ilmu
fiqh Maliki di Madrasah Al-Qamhiyah. Pada tahun 801 M (1401 H), ia diangkat
menjadi ketua pengadilan kerajaan sampai akhir hayatnya. Selama di Mesir, Ibn
Khaldun kembali merevisi kitab Al-‘Ibar dan menambah pasal kitab Muqaddimah. Ia
memasukan peristiwa terbaru dan temuan-temuan ilmiahnya, seperti konsep-konsep
sosiologis. Ia wafat di Kairo 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406). Temuan
pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep sosiologinya yang
hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh ahli sejarah
dan sosiologi dunia.
2.2 Pengertian Sejarah Menurut Ibn
Khaldun
Untuk
memahami pengertian sejarah, Ibn Khaldun pada ungkapan pertama dan kedua
menggunakan istilah fann al-tarikh.
Adapun pada ungkapan yang ketiga, istilah tarikh disebutkan secara berdiri
sendiri tanpa didahului dengan istilah fann. Dengan demikian, Ibn Khaldun menggunakan istilah fann
al-tarikh dan al-tarikh untuk menunjuk pengertian sejarah. Secara
bahasa kata fann berarti seni atau teknik, sedangkan secara istilah ia
mengandung arti aplikasi praktis tentang teori-teori keilmuan yang diwujudkan
melalui berbagai alat atau metode, dan dapat diperoleh melalui studi. Dengan
demikian, istilah fann dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mengarah
pada penerapan teori-teori keilmuan. Adapun istilah tarikh dalam bahasa
Arab mengandung arti rekaman suatu peristiwa tertentu pada masa tertentu yang
sepadan dengan kata history. Dengan demikian, fann al-trikh berarti
penerapan tentang teori-teori rekaman peristiwa masa lalu melalui metode
sejarah (Toto Suharto, 2003: 80).
Fann
al-tarikh dalam pandangan Ibn Khaldun mengandung dua
pemahaman, yaitu luar dan dalam.
Sejarah dalam pandangan Ibn Khaldun bukan
sekedar ceritera kronik tentang berbagai peristiwa masa lalu, tetapi sejarah
juga berarti menyajikan kritik terhadap data dan berita yang ada, di samping
analisis terhadap berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Pandangan
inilah yang menyebabkan Ibn Khaldun dianggap sebagai puncak sejarawan naratif interpretatif di kalangan
cendekiawan Arab. Oleh karena sejarah mengandung suatu penyelidikan kritis dan
mencari kebenaran; suatu pengetahuan mendalam tentang 'bagaimana' dan 'mengapa' suatu
peristiwa terjadi, maka sejarah menurut Ibn Khaldun dipandang sebagai bagian
dari hikmah atau filsafat. Pertama, sikap
memihak terhadap suatu kepercayaan atau pendapat (tidak netral). Kedua,
kepercayaan yang berlebihan kepada para penutur, padahal penuturan apapun harus
diterima setelah dilakukan ta’dil dan tajrih(personality criticism). Ketiga,
ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Keempat, pepercayaan
yang salah terhadap “kebenaran”.
Dengan
kata lain, seorang sejarawan menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan
bahwa berita itu telah merupakan kebenaran. Kelima, ketidaksanggupan
menempatkan denagn tepat suatu kejadian dalam hubungan peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya karena kabur dan rumitnya keadaan. Kelima, keinginan yang umum untuk
mengambil hati orang-orang yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memuji-muji,
menyiarkan kemasyuran, membujuk-bujuk, mneganggap baik perbuatan mereka dan
memberi tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka. Keenam, idak
mengetahui hokum watak dan perubahan masyarakat. Ketujuh, ketidaktahuan tentang
metode-metode kebudayaan. Dengan menggunakan “tujuh kritik” ini ia mengkritik
para sarjana sejarah seperti Al-Mas’udi yang telah lengah memercayai berita
yang tidak masuk akal.
2.3
Pandangan dan Pemikiran Filsafat Sejarah Spekulatif Pada Abad Pertengahan
Menurut Ibn Khaldun
Filsafat sejarah dalam pengertian yang paling
sederhana adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa sejarah secara filosofis
untuk mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan
peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum
umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam
berbagai masa dan generasi. Dalam kasus yang demikian, filsafat sejarah
merupakan wawasan atau penilaian seorang sejarawan atau filosof terhadap
sejarah. Menurut F. Laurent, bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan
seperangkat rangkaian peristiwa yang terjadi tanpa tujuan atau makna. Laurent
dalam hal ini memilih Allah sebagai pengendali jalannya sejarah (Zainab
al-Khudhairi, 1987:54).
Menurut Ibn
Khaldun, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai
dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat
diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial.
Ibn Khaldun berpendapat bahwa 'ashabiyah'
merupakan asas berdirinya
suatu negara dan faktor ekonomi adalah
faktor terpenting yang
menyebabkan terjadinya perkembangan
masyarakat. Apabila ditinjau dari aspek ini, Ibn Khaldun dapat dipandang
sebagai salah seorang penyeru materialisme
sejarah (Zainab al-Khudhairi, 1987:62).
Berkenaan dengan pendapatnya di atas, Ibn Khaldun
bersesuaian dengan aliran sejarah
sosial yang berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat
diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat diikhtisarkan dari fakta-fakta
sejarah.
Meskipun dari aspek ini Ibn Khaldun dapat dipandang
sebagai seorang tokoh dari sealiran dengan faham materialis, namun ia tidak
meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari aspek
ekonomi saja. Ibn Khaldun pun meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan
lebih menekankan faktor-faktor lain ini. Ibn Khaldun pun sefaham dengan aliran geografis yang memandang
manusia sebagai putera alam lingkungan
dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan alamlah yang membentuk
masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan. Namun pandangan ini kini
tidak lagi diterima, sebab kini terbukti bahwa selain dipengaruhi oleh
lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi antara keduanya terjadi
interaksi. Dari sini dapat dinyatakan bahwa Ibn Khaldun pun berafiliasi dengan
aliran terakhir ini, karena ia menyatakan tentang adanya dampak alam kehidupan
masyarakat, meski ia tidak menyatakan bahwa dampak alam tersebut merupakan
faktor satu-satunya.
Menurut Ibn Khaldun setiap fenomena sosial tunduk pada
hukum perkembangan, bahkan perkembangan dalam fenomena-fenomena sosial lebih
gambling tinimbang dalam fenomena-fenomena alam, serta segala sesuatu dalam
masyarakat manusia selalu berubah (Zainab al-Khudhairi, 1987:79). Gerak,
menurut Ibn Khaldun terkandung dalam watak segala sesuatu. Ibn Khaldun misalnya
menyerupakan umur negara dengan kehidupan manusia. Di sini Ibn Khaldun bermaksud
untuk menyatakan bahwa negara terus berkembang, sebab kehidupan itu sendiri
berada dalam gerak dan perkembangan yang berkesinambunagn. Pengingkaran
terhadap perkembangan berarti pengingkaran terhadap kehidupan. Perkembangan
menurut Ibn Khaldun mempunyai corak dialektis,
yakni bahwa sejak penciptaannya, dalam diri makhluk hidup telah terkandung
benih-benih kematian dn perkembangan yang tidak dapat dihentikan, dan akan
menuju pada kematian yang pasti (Zainab al-Khudhairi, 1987:79).
Perkembangan menurut Ibn Khaldun tidaklah berupa lingkaran dan garis lurus, melainkan
berbentuk spiral. Sebagai contoh misalnya, adalah perkembangan negara.
Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak kejayaan dan kebudayaannya, akan
memasuki masa senja dan mulai mengalami keruntuhan untuk digantikan negara
baru. Negara baru ini tidak bermula
dari nol, tetapi mengambil peninggalan negara yang lama, melengkapinya,
menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda dari kebudayaan negara
sebelumnya, meski perbedaan ini tidak tampak sehingga sulit diamati. Namun
dengan berulangkalinya daur ini berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak
makin jelas.
Sebagian para penulis berpendapat bahwa daur
perkembangan versi Ibn Khaldun ini akanmengakibatkan
tiadanya kemajuan. Karena hal ini berarti bahwa pada waktu suatu masyarakat berbudaya mengalami kehancuran, maka daur
perkembangan bermula lagi dari masyarakat primitif, yakni kembali ke
belakang yang lebih sederhana. Dalam menjawab pendapat di atas, M.A. Lahbabi
menyatakan bahwa dalam kenyataannya, masyarakat maju yang lenyap, lebih maju
dari segi materi saja dibanding masyarakat primitif. Oleh karena itu kehidupan primitif bukanlah merupakan
kehancuran atau kehilangan pencapaian-pencapaian kultural, melainkan merupakan
pemurnian tradisi dan adat kebiasaan, dan ia merupakan gerak kembali pada
keperwiraan, kedermawanan, dan keberanian. Sesuai dengan interpretasi
yang demikian ini, maka kebudayaan
perkotaan dengan segala kemewahan dan mewarnainya adalah pertanda keruntuhan
masyarakat dari segi nilai-nilai (Zainab al-Khudhairi, 1987:83).
Mengenai faktor-faktor apa saja yang mengendalikan perkembangan, Ibn
Khaldun menempatkan agama sebagai
salah satunya. Sejalan dengan pendapat ini, Vico, mengatakan bahwa agama adalah
juga sebab perkembangan pada masa di mana agama memainkan peran yang dominan
dalam kehidupan. Sedang Thomas Henry Buckle berpendapat bahwa pada abad ke-19, ilmu pengetahuan-lah yang dijadikan
sebagai asas perkembangan sejarah. Selanjutnya terdapat pula para ahli yang
mencoba mengkaji sejarah kenyataan-kenyataan ekonomi dan memandang kehidupan
ekonomi sebagai faktor yang mengendalikan perkembangan sejarah.
Pertama,
ekonomi. Ibn Khaldun berpendapat bahwa antara fenomena-fenomena sosial dengan
fenomena lainnya saling berkaitan. Fenomena-fenomena ekonomi, menainkan peranan
yang penting dalam perkembangan kebudayaan, dan mempunyai dampak yang besar
atas eksistensi negara dan perkembangannya. Baginya faktor ekonomi sebagai
faktor terpenting yang menggerakkan sejarah. Aspek ekonomilah yang menentukan
watak kehidupan sosial. Meskipun demikian, Ibn Khaldun tidak dapat dipandang
sebagai seorang pemikir materialis murni, karena ia kadang-kadang menempatkan
faktor-faktor mental lebih dominan dalam mempengaruhi perkembangan manusia
(Zainab al-Khudhairi, 1987:119).
Kedua, alam.
Ibn Khaldun juga menyatakan adanya dampak alam atas individu-individu dan
masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap
masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi
bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya
dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini berarti bahwa alam membatasi
kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa yang dilakukannya. Selain itu,
alam juga mempengaruhi sifat-sifat fisik dan psikisnya, dan bahkan juga
mempengaruhi kehidupan kulturalnya. Atas dasar itu, Ibn Khaldun menyimpulkan
bahwa kebudayaan tidak mungkin ada kecuali di kawasan-kawasan tertentu, tidak yang
lainnya (Zainab al-Khudhairi, 1987:89).
Ketiga, agama. Ibn
Khaldun, demikian dikatakan Gaston Bouthoul, dalam kedudukannya sebagai seorang
Muslim, berpendapat tentang adanya pengarahan Ilahi yang mengendalikan
hukum-hukum yang mengarahkan berbagai fenomena. Hal ini tidak bertentangan
dengan pengakuan tentang adanya berbagai faktor yang mengendalikan perjalanan
dan perkembangan kehidupan sosial dan sejarah, misalnya saja faktor ekonomi,
alam, dan hukum-hukum determinisme sejarah. Sebab pengarahan Ilahi berada pada
segala sesuatu dan mampu menguah perjalanan segala sesuatu (Zainab
al-Khudhairi, 1987:97).
2.4Pola/Irama Proses (Gerak) Sejarah
Ibn
Khaldun merupakan sosok filosof yang membangun peradaban islam yang tengah
redup bersama dengan Renaisans Barat. Melalui karyannya “Al-Muqaddimah”
serangkaian dengan kitab Al-‘Ibar dan Al-Ta’arif yang didalamnya mengandung
berbagai aspek kehidupan termasuk filsafat sejarah, bagaimana Ibn Khaldun
memandang gerak sejarah.
Dari
beberapa teori tentang gerak sejarah, para Khaldunian telah berbeda pendapat
dalam menganalisa gerak sejarah menurut Ibn Khaldun. Perbedaan ini terjadi
karena Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah tidak menyebutkan teorinya secara
eksplisit, tapi hanya menyebutkan secara implisit. Secara sederhana, mereka
terbagi dalam tiga kelompok pemikiran.
Pertama,
kelompok yang menyebutkan bahwa gerak sejarah menurut Ibn Khaldun adalah gerak
siklus. Kedua,kelompok yang menyatakan bahwa gerak sejarah menurut Ibn Khaldun
adalah berpangkal pada kehendak Tuhan. Sedang yang ketiga, mengungkapkan bahwa
gerak sejarah menurut Ibn Khaldun bukanlah siklus atau linier, melainkan
spiral.
Tato
Suharto mengungkapkan pendapatnya dengan jelas bahwa teori gerak sejarah yang
paling mendekati kepada maksud Ibn Khaldun diantara tiga pendapat Khaldunian
adalah sejarah menurut Ibn Khaldun mengambil bentuk spiral dengan corak
dialektis. Ia akan mengalami proses siklus menuju evolusi dan progress,
sehingga membentuk spiral. Akan tetapi, oleh karena kehancuran sebuah dinasti
berarti berdirinya dinasti baru, maka sejarah mengambil corak yang dialektis.
2.5
Motor yang Menjadi Penggerak Sejarah Menurut Ibn Khaldun
Mengenai motor penggerak sejarah menurut Ibn
Khaldun terdapat tiga motor , yaitu:
Pertama,
ekonomi. Ibn Khaldun berpendapat bahwa antara fenomena-fenomena sosial dengan
fenomena lainnya saling berkaitan. Fenomena-fenomena ekonomi, menainkan peranan
yang penting dalam perkembangan kebudayaan, dan mempunyai dampak yang besar
atas eksistensi negara dan perkembangannya. Baginya faktor ekonomi sebagai
faktor terpenting yang menggerakkan sejarah. Aspek ekonomilah yang menentukan
watak kehidupan sosial. Meskipun demikian, Ibn Khaldun tidak dapat dipandang
sebagai seorang pemikir materialis murni, karena ia kadang-kadang menempatkan
faktor-faktor mental lebih dominan dalam mempengaruhi perkembangan manusia
(Zainab al-Khudhairi, 1987:119).
Kedua, alam.
Ibn Khaldun juga menyatakan adanya dampak alam atas individu-individu dan
masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap
masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi
bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya
dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini berarti bahwa alam membatasi
kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa yang dilakukannya. Selain itu,
alam juga mempengaruhi sifat-sifat fisik dan psikisnya, dan bahkan juga
mempengaruhi kehidupan kulturalnya. Atas dasar itu, Ibn Khaldun menyimpulkan
bahwa kebudayaan tidak mungkin ada kecuali di kawasan-kawasan tertentu, tidak
yang lainnya (Zainab al-Khudhairi, 1987:89).
Ketiga, agama. Ibn
Khaldun, demikian dikatakan Gaston Bouthoul, dalam kedudukannya sebagai seorang
Muslim, berpendapat tentang adanya pengarahan Ilahi yang mengendalikan
hukum-hukum yang mengarahkan berbagai fenomena. Hal ini tidak bertentangan
dengan pengakuan tentang adanya berbagai faktor yang mengendalikan perjalanan
dan perkembangan kehidupan sosial dan sejarah, misalnya saja faktor ekonomi,
alam, dan hukum-hukum determinisme sejarah. Sebab pengarahan Ilahi berada pada
segala sesuatu dan mampu menguah perjalanan segala sesuatu (Zainab
al-Khudhairi, 1987:97).
Dari ketiga faktor penggerak tersebut bersifat
komplementer, meskipun sebagai seorang
muslim Khaldun tetap mengakui secara implisit peranan “lebih” dari faktor agama
(Tuhan).
2.6
Arah dan Tujuan dari Proses Gerak Gejarah Menurut Ibn Khaldun
Teori
Ibn Khaldun berdasarkan pada kehendak Tuhan sebagai pangkal penggerak sejarah.
Seperti halnya Santo Agustinus, tetapi Ibn Khaldun tidak memusatkan pada
akhirat. Tujuan sejarah adala agar manusia sadar akan perubahan-perubahan
masyarakat sebagai usaha menyempurnakan kehidupan. Ibn Khaldun menunjukkan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat karena kadarTuhan, yang
terdapat dalam masyarakat yaitu naluri untuk berubah (berkembang) untuk menuju
kesempurnaan hidup.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Ibn Khaldun adalah cendekiawan
islam yang lahir di Tunisia dapa tanggal 27 Mei 1332 ( 1 Ramadan 732) dengan
nama lengkap Waliyuddin abdurrahman bi Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar
Muhammad bin Al-Hasan;
3.1.2 Pengertian sejarah, Ibn Khaldun
pada ungkapan pertama dan kedua menggunakan istilah fann al-tarikh. Adapun pada ungkapan yang ketiga, istilah
tarikh disebutkan secara berdiri sendiri tanpa didahului dengan istilah fann;
3.1.3
Dalam filsafat
sejarah bahwasanya:
a. semua fenomena sosial tunduk pada hukum
perkembangan;
b. perubahan merupakan hal yang inheren dan niscaya terjadi
dalam kehidupan masyarakat;
3.1.4
Hukum
perkembangan secara implisit berbentuk “spiral”.(contoh “perkembangan
negara”;
3.1.5
Motor proses
(gerak) sejarah:
Motor penggerak bersifat komplementer antara faktor Agama (Tuhan), Ekonomi (bentuk-bentuk
produksi), dan Lingkungan Alam (kondisi geografis);
3.1.6
Tujuan
perkembangan adalah “kesempurnaan hidup” (kebahagiaan dunia dan
akhirat).
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah,
Moeslih dan Dedi Supriyadi. 2012. Filsafat
Sejarah. Bandung: CV.Pustaka Setia.
Tamburak,
Rustam B. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah
dan Filsafat Sejarah. Bandung: Rosda Kaya.
http://ibnul-whatever.blogspot.com/2012/02/pandangan-pada-abad-pertengahan-ibnu.html
0 komentar:
Posting Komentar